Plankton (Mikroalga) Beracun Di Perairan


PENDAHULUAN

Seperti diketahui, peranan plankton sangat vital di dalarn ekosistem perairan sebagai dasar dari kehidupan. Beraneka ragam organisme mikroskopik nabati yang merupakan belahan terbesar dari organisme planktonik, bisa menghasilkan bahan-bahan organik. Melalui rantai masakan bahan-bahan organik sanggup mencapai organisme konsumen dalam tingkatan troffic yang lebih tinggi (ikan). Nybakken (1992) menyebutkan bahwa tempat perikanan tangkap potensial terdapat di perairan yang memiliki tingkat kesuburan tinggi ibarat di tempat upwelling. Namun kesuburan plankton yang berlebihan akhir adanya pengkayaan unsur-unsur hara sanggup menimbulkan tamat hidup masal pada biota bahari (Shumway 1990; Adnan 1993). Adanya mikroalga beracun yang muncul di dalam perairan sanggup membahayakan kehidupan organisme konsumen ibarat ikan dan Avertebrata, bahkan hingga pada insan yang kebetulan memakan produk bahari yang mengandung racun yang berasal dari mikroalga. Berbagai masalah tamat hidup pada biota laut, keracunan, dan tamat hidup pada insan telah terjadi di beberapa negara ibarat yang dipaparkan oleh Shumway (1990) dan di beberapa tempat di Indonesia (Adnan 1993). Secara menyeluruh di wilayah Asia-Pasifik hingga pertengahan tahun 1994 tercatat sekitar 3.164 korban keracunan dan 148 korban meninggal (Coralles & Maclean 1995).

Pentingnya dampak yang ditimbulkan oleh mikroalga beracun terhadap kesehatan masyarakat Indonesia menimbulkan terjadinya peningkatan penelitian perihal persoalan ini. Berbagai temuan spesies mikroalga berbahaya telah dilaporkan di beberapa tempat di Kawasan Timur Indonesia (Wiadnyana et al. 1994; Wiadnyana et al. 1995; Sidabutar et al. 1995), sementara penelitian terus berlanjut. Dengan maksud untuk memahami dan menginformasikan seluas-luasnya fenomena mikroalga beracun, goresan pena ini disusun dengan menggabungkan hasil-basil penelitian terbaru.




JENIS MIKROALGA BERBAHAYA

Spesies fitoplankton sanggup berbahaya dan merusak ekosistem perairan dalam kondisi sangat berlimpah dan menghasilkan racun. Hallegraeff (1993) menguraikan tipe-tipe jenis berbahaya menjadi tiga belahan (Tabel 1). Spesies dari tipe yang sanggup membahayakan biota laut, akhir terjadinya penurunan oksigen terlarut atau disebut spesies "anoxious". Dari kelompok ini yang sering ditemukan di Indonesia ialah Trichadesmium erythraeum, saIah satu spesies dari Cyanophyta / Cyanobacterium. (Gambar IA). Cyanobacterium ini sewaktu-waktu sanggup melimpah di perairan lantaran kondisi unsur hara yang berlebihan dan sanggup mengikat unsur nitrogen secara eksklusif dari udara. Contoh masalah tamat hidup ikan masal terjadi di tambak udang di Lampung (Adnan 1993). Di Teluk Kao spesies ini sering mendominasi perairan (Wiadnyana et al. 1994). Kepadatan tertinggi yang tercatat sanggup mencapai nilai sebesar 3,9 ribu sel/l (90 % dari jumlah total fitoplankton). Kelimpahan ini nampaknya belum dikatakan membahayakan kehidupan biota bahari ibarat ditunjukkan dengan tidak adanya laporan tamat hidup masal pada ikan yang diakibatkan oleh spesies fitoplankton ini. Selain itu, juga ditemukan satu spesies dari Dinoflagellata, Noctiluca scintillans, yang berwama hijau (Gambar lB). Dinoflagellata ini memiliki ukuran relatif besar (150 - 2000 p.m) dan pada ketika populasinya cukup padat sanggup merubah wama perairan menjadi kehijauan.

Tabel 1. Kelompok, sifat dan jenis mikroalga berbahaya

Kelompok
Sifat racun
Contoh spesies
Anoxious
Kurang berbahaya, ledakan bisa terjadi pada kondisi tertentu,bisa berkembang sangat padat menimbulkan penurunan kadar oksigen yang drastis dan tamat hidup massal pada ikan dan vertebrata
Dinoflagellata : Gonyaulax polygramma, Noctiluca scintillans, Scrippsiella trochoidea
Cyanophyta : Trichodesmium eryathraeum

Beracun
Beracun berat : menimbulkan banyak sekali macam penyakit perut dan sistem syaraf :


Paralytic Shelfish Poisoning (PSP)









Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP)





Amnesic Shellfish Poisoning (ASP)




Ciguatera Fishfood Poisoning (CFP)



Neuorotoxic Shellfish Poisoning (NSP)

Racun Cyanophyta (cyanotoxin)




Dinoflagellata : Alexandrium catenella, A. cohorticuta, A. fundyense, A. fraterculus, A. minutum, A. tamarense, Gymnodinium catenatum, Pyrodinium bahamense var compressum
Dinoflagellata : Dinophysis acuta, D. acuminata, D. fortii, D. norvegica, D. mitra, D. roundata, Prorocentrum lima

Diatomae : Nitzschia pungens f multiseries, N. pseudodelicatissima, N. pseudoseriata
Dinoflagellata : Gambierdiscus toxicus, Ostreopsis sp, Prorocentrum sp
Dinoflagellata : Gymnodinium breve
Cyanophyta : Anabaena flos-aquae, Microcystis aeroginosa, Nodularia spumigena
Perusak sistem pernapasan
Tidak beracun, secara fisik merusak sistem pernafasan avertebrata dan ikan lantaran penyumbatan, terutama pada ketika kepadatan tinggi
Diatomae : Chaetoceros convolurus
Dinoflagellata : Gymnodinium mikimatoi




Fitoplankton yang sanggup menghasilkan racun pada umumnya berasal dari kelompok Dinoflagellata. Di perairan Indonesia tercatat beberapa spesies beracun, di antaranya, Pyrodinium bahamense var. compressum {Gambar I C bentuk sel vegetatif dan Gambar IG untuk benink kista (cyst)} dan Prorocentrurn lima (Gainbar ID). Di samping itu ditemukan juga Alexandrium sp. dan Ostreopsis sp. (Gambar IE dan IF), namun belum diketahui apakah spesies-spesies ini merupakan Dinoflagellata beracun.
Kasus tamat hidup masal pada ikan dan Avertebrata yang disebabkan oleh jenis fitoplankton perusak dan penyumbat sistern pemafasan (rusaknya insang) hingga ketika ini belum ditemukan di perairan Indonesia. Spesies-spesies dari Chaetoceros yang ditemukan di beberapa lokasi masih dalam jumlah yang wajar.

Gambar 1. Jenis mikroalga berbahaya yang ditemukan di beberapa 1okasi di perairan Indonesia:A-Trichodesmium erythraeum, B-Noctiluca scintillans (ripe berwarna hijau), C-Pyrodinium baharnense var. compressum, D-Prorocentrum lima, E-Ostreopsis sp., F-Alexandrium sp., G-Kista("Cyst") P. baharnense vat. compressum.


Spesies-spesies dari kelompok penyumbat sistem pernafasan sanggup membahayakan kehidupan biota bahari pada konsentrasi yang sangat padat, sehingga menimbulkan "red tide". Sebagai rujukan dampak negatif yang pemah terjadi yaitu akuakultur di Sero, Jepang, pada tahun 1972 yang mengalami kerugian mencapai lebih dari satu triliun rupiah akhir ledakan populasi Charonella antiqua (Okaichi 1989).


KASUS - KASUS KERACUNAN


Kasus-kasus yang paling banyak tercatat ialah yang disebut 'paralytic shellfish poisoning' (PSP) (Tabel 1) dan telah tercatat di hampir seluruh belahan bumi (Gambar 2). Kematian masal pada banyak sekali jenis kerang budidaya merupakan masalah yang paling banyak tercatat, umumnya disebabkan oleh spesies-spesies dari ordo Dinophysiales. Gangguan kesehatan dan korban tamat hidup pada insan sering ditimbulkan oleh spesies-spesies dari marga Gonyaulax, Alexandrium dan Pyrodinium. Shumway (1990) menyebutkan bahwa Dinoflagellata beracun, Pyrodinium, merupakan penyebab terbesar korban pada manusia, ibarat yang terjadi di Guatemala (26 orang meninggal dan sekitar 185 orang di rawat di rumah sakit). Sebelum itu masalah besar lain teIah terjadi di Filipina, dimana 21 orang meninggal dan sekitar 278 orang di rawat di rumah sakit. Setelah di determinasi secara lebih rinci, penyebabnya ialah Pyrodinium bahamense var. compressum.


Di Indonesia, masalah serupa telah terjadi contohnya di Teluk Kao dan di Teluk Ambon. Di desa Latta terjadi keracunan yang membawa korban 33 orang masuk rumah sakit dan delapan anak kecil meninggaI. Gambar 3 menunjukkan daerah-daerah yang mengalami kerugian ekonomi akhir tamat hidup masal ikan dan keracunan PSP.


Hallegraeff (1993) menguraikan tanda-tanda klinis keracunan (Tabel 2), yang pada dasamya terbagi menjadi dua bagjan yaitu racun yang menyerang sistem syaraf dan racun yang menyerang pencernaan.
Tingkatan peparahan korban akhir mikroalga bergantung pada kekuatan racun yang terkandung pada biota yang termakan. Tinggi rendahnya racun pada biota bahari tergantung pada keIimpahan dan waktu terjadinya ledakan populasi mikroaIga beracun di perairan. Pada masalah ledakan populasi P. bahamense var compressum di Teluk Manila, Bajarias (1994) menjelaskan bahwa racun yang ditemukan pada kerang hijau (Perna viridis) mencapai kadar yang sangat tinggi (lebih dari 1000 g/100 g daging kerang) ketika kelimpahan Pyrodinium mencapai sepuluh ribu hingga satu juta sel per liter air laut. Pada kondisi ini kerang tersebut sangat berbahaya untuk dikonsumsi sebagai makanan, sementara kadar racun yang tidak membahayakan ialah kurang dari 80 g/100 g daging kerang (Pastor et al. 1989) atau setara dengan konsentrasi Dinoflagellata di perairan sekitar seribu sel/I (Bajarias 1994). Selanjutnya dijelaskan bahwa kadar racun pada kerang hijau masih cukup tinggi, meskipun Pyrodinium sudah tidak ditemukan dalam lapisan air. Temuan ini menawarkan peringatan bahwa kerang-kerangan ataupun tiram dari perairart tercemar Dinoflagellata beracun Pvrodinium tidak boleh dikonsumsi selama beberapa waktu (2 - 3 bulan) sesudah terjadi insiden ledakan populasi.


Gambar 2. Peta sebaran tempat-tempat di seluruh dunia yang mengalami tragedi alam paralytic shellfish poisoning (PSP) dan munculnya mikroalga berbahaya. Sumber: Shumway (1990).
Gambar 3. Peta sebaran tempat-tempat di Indonesia yang mengalami tragedi alam paralytic shell fish poisoning (PSP) dan munculnya mikroalga berbahaya.

Tabel 2. Gejala klinis dari beberapa tipe keracunan







ANCAMAN JENIS PYRODINIUM BERACUN


P. bahamense var compressum mempunyai sebaran luas di perairan Pasifik Barat. Di perairan Indonesia, spesies ini dijumpai di beberapa tempat ibarat Teluk Kao, Teluk Ambon, Teluk Piru, Teluk Elpaputih, perairan Saparua, perairan Sorong, sekitar Biak dan Teluk Cenderawasih, selain di Teluk Jakarta dan perairan Bangka. Saat kemunculannya di Teluk Kao pada Maret 1994, spesies ini mencapai 0.8 - 2.3 juta sel/liter, menimbulkan perubahan warna perairan menjadi merah kecoklatan (Wiadnyana et al. 1994). 


Di Teluk Ambon, kepadatan Pyrodinium tercatat 0.4 - 1.6 ribu sel/l pada Juli 1994. Di perairan Seram dan Irian Jaya, kepadatan Pyrodinium relatif rendah dan belum ada laporan perihal kasus-kasus keracunan. Sementara di Saparua, Pyrodinium ditemukan pada periode Juni - Juli 1994 di perairan sekitar Teluk Tuhaha, Desa Noloth, Desa Pia dan Desa Lhamahu dengan kepadatan berkisar antara 6 - 95 sel/liter.
Di Filipina dan tempat-tempat lainnya, kemunculan Pyrodinium sering ditemukan di perairan sekitar hutan mangrove. Sampai ketika ini, belum diketahui secara terang korelasi antara mangrove dan keberadaan Pyrodinium di perairan. 


Beberapa pakar menyebutkan faktor-faktor yang sanggup memicu ledakan populasi jenis mikroalga berbahaya ialah lantaran adanya pengayaan unsur-unsur hara atau eutrofikasi (Holligan 1985); berkurangnya pemakanan oleh herbivora (Lindahl, 1983); perubahan hidrometeorologi dalam skala besar (Holligan, 1985); adanya upwelling yang mengangkat masa air kaya unsur-unsur hara (Tangen, 1983); dan adanya hujan lebat dan masuknya air tawar ke bahari dalam jumlah yang besar (Edler et al. 1982; Cembella et al. 1988). Dalam kaitannya dengan ledakan populasi Pyrodinium, selain dipengaruhi oleh faktorfaktor tersebut, diperkirakan masih ada faktor-faktor lain yang hingga ketika ini perlu dikaji secara terus menerus. 


Hal ini dikemukakan oleh lantaran meskipun penyebaran spesies ini terjadi di beberapa tempat, tetapi hanya di Teluk Kao yang menimbulkan red tide. Dugaan sementara, kondisi air yang hening (arus bahari lemah dan perairan tidak bergelombang) cenderung mempercepat perkembangan populasi. Faktor yang paling penting ialah keberadaan marga tersebut di perairan, terutama dalam benih kista di dasar perairan (Gambar 1 G). Naiknya kista dari dasar perairan ke lapisan permukaan memerlukan mekanisme-mekanisme yang menimbulkan naiknya masa air dari dasar ke lapisan permukaan.

PENGEMBANGAN STUDI MIKROALGA BERBAHAYA


Seperti diuraikan di aras, mikroalga berbahaya telah menimbulkan dampak negatif yang cukup besar bagi biota laut, kesehatan insan dan perikanan. Kerugian ekonomi dan korban insan yang terjadi di Indonesia sepertinya relatif cukup rendah jikalau dibandingkan dengan di negara-negara lain. Tetapi ini tidak berarti studi mikroalga berbahaya tidak perlu dikembangkan.


Adanya perubahan-perubahan secara global, baik yang menyangkut perubahan iklim, pengkayaan zat hara di perairan pesisir, maupun peningkatan korelasi perdaganngan yang menjadikan meningkatnya keluar dan masuknya kapal-kapal niaga daft dan ke wilayah Indonesia, maka dampak yang sanggup ditimbulkan daft kegiatan ini ialah meningkamya peluang meluasnya penyebaran spesies-spesies mikroalga berbahaya dari satu perairan ke perairan lainnya. Hallegraeff (1993) mengemukakan meluasnya sebaran Dinoflagellata sanggup disebabkan oleh transportasi kista yang terbawa oleh kapal dalam air balas (ballast water ). Melalui prosedur ini perairan yang pada awalnya bebas dari mikroalga beracun sanggup tercemar dan berlangsung secara terus menerus dari sam tempat ke tempat lainnya. Semakin tingginya materi detergen, buangan limbah organik dan anorganik lainnya yang masuk ke perairan sanggup berdampak penyuburan perairan yang berlebihan. Semua ini merupakan faktor-faktor yang berafiliasi dengan keberadaan dan terjadinya ledakan populasi mikroalga berbahaya di perairan Indonesia. Meskipun demikian, permasalahan yang paling penting yang sejauh ini masih belum diketahui ialah cara unmk meramalkan terjadinya ledakan populasi mikroalga berbahaya. Berdasarkan pada informasi tersebut, pengembangan smdi mikroalga berbahaya perlu menerima perhatian dan terus d
ANCAMAN JENIS PYRODINIUM BERACUN


P. bahamense var compressum mempunyai sebaran luas di perairan Pasifik Barat. Di perairan Indonesia, spesies ini dijumpai di beberapa tempat ibarat Teluk Kao, Teluk Ambon, Teluk Piru, Teluk Elpaputih, perairan Saparua, perairan Sorong, sekitar Biak dan Teluk Cenderawasih, selain di Teluk Jakarta dan perairan Bangka. Saat kemunculannya di Teluk Kao pada Maret 1994, spesies ini mencapai 0.8 - 2.3 juta sel/liter, menimbulkan perubahan warna perairan menjadi merah kecoklatan (Wiadnyana et al. 1994). 


Di Teluk Ambon, kepadatan Pyrodinium tercatat 0.4 - 1.6 ribu sel/l pada Juli 1994. Di perairan Seram dan Irian Jaya, kepadatan Pyrodinium relatif rendah dan belum ada laporan perihal kasus-kasus keracunan. Sementara di Saparua, Pyrodinium ditemukan pada periode Juni - Juli 1994 di perairan sekitar Teluk Tuhaha, Desa Noloth, Desa Pia dan Desa Lhamahu dengan kepadatan berkisar antara 6 - 95 sel/liter.
Di Filipina dan tempat-tempat lainnya, kemunculan Pyrodinium sering ditemukan di perairan sekitar hutan mangrove. Sampai ketika ini, belum diketahui secara terang korelasi antara mangrove dan keberadaan Pyrodinium di perairan. 


Beberapa pakar menyebutkan faktor-faktor yang sanggup memicu ledakan populasi jenis mikroalga berbahaya ialah lantaran adanya pengayaan unsur-unsur hara atau eutrofikasi (Holligan 1985); berkurangnya pemakanan oleh herbivora (Lindahl, 1983); perubahan hidrometeorologi dalam skala besar (Holligan, 1985); adanya upwelling yang mengangkat masa air kaya unsur-unsur hara (Tangen, 1983); dan adanya hujan lebat dan masuknya air tawar ke bahari dalam jumlah yang besar (Edler et al. 1982; Cembella et al. 1988). Dalam kaitannya dengan ledakan populasi Pyrodinium, selain dipengaruhi oleh faktorfaktor tersebut, diperkirakan masih ada faktor-faktor lain yang hingga ketika ini perlu dikaji secara terus menerus. 


Hal ini dikemukakan oleh lantaran meskipun penyebaran spesies ini terjadi di beberapa tempat, tetapi hanya di Teluk Kao yang menimbulkan red tide. Dugaan sementara, kondisi air yang hening (arus bahari lemah dan perairan tidak bergelombang) cenderung mempercepat perkembangan populasi. Faktor yang paling penting ialah keberadaan marga tersebut di perairan, terutama dalam benih kista di dasar perairan (Gambar 1 G). Naiknya kista dari dasar perairan ke lapisan permukaan memerlukan mekanisme-mekanisme yang menimbulkan naiknya masa air dari dasar ke lapisan permukaan.

PENGEMBANGAN STUDI MIKROALGA BERBAHAYA


Seperti diuraikan di aras, mikroalga berbahaya telah menimbulkan dampak negatif yang cukup besar bagi biota laut, kesehatan insan dan perikanan. Kerugian ekonomi dan korban insan yang terjadi di Indonesia sepertinya relatif cukup rendah jikalau dibandingkan dengan di negara-negara lain. Tetapi ini tidak berarti studi mikroalga berbahaya tidak perlu dikembangkan.


Adanya perubahan-perubahan secara global, baik yang menyangkut perubahan iklim, pengkayaan zat hara di perairan pesisir, maupun peningkatan korelasi perdaganngan yang menjadikan meningkatnya keluar dan masuknya kapal-kapal niaga daft dan ke wilayah Indonesia, maka dampak yang sanggup ditimbulkan daft kegiatan ini ialah meningkamya peluang meluasnya penyebaran spesies-spesies mikroalga berbahaya dari satu perairan ke perairan lainnya. Hallegraeff (1993) mengemukakan meluasnya sebaran Dinoflagellata sanggup disebabkan oleh transportasi kista yang terbawa oleh kapal dalam air balas (ballast water ). Melalui prosedur ini perairan yang pada awalnya bebas dari mikroalga beracun sanggup tercemar dan berlangsung secara terus menerus dari sam tempat ke tempat lainnya. Semakin tingginya materi detergen, buangan limbah organik dan anorganik lainnya yang masuk ke perairan sanggup berdampak penyuburan perairan yang berlebihan. Semua ini merupakan faktor-faktor yang berafiliasi dengan keberadaan dan terjadinya ledakan populasi mikroalga berbahaya di perairan Indonesia. Meskipun demikian, permasalahan yang paling penting yang sejauh ini masih belum diketahui ialah cara unmk meramalkan terjadinya ledakan populasi mikroalga berbahaya. Berdasarkan pada informasi tersebut, pengembangan smdi mikroalga berbahaya perlu menerima perhatian dan terus dikembangkan.


(Disarikan dari : Mikroalga Berbahaya di Perairan Indonesia oleh : Ngurah N. Wiadnyana)


Related Post