Plankton Dan Muddy Smell (Bau Lumpur) Pada Udang


Istilah muddy smell atau bacin lumpur yang biasa kita dengar dalam budidaya udang merupakan salah satu parameter yang dipakai dalam tes organoleptik (uji rasa). Muddy smell merupakan salah satu bentuk dari penyimpangan cita rasa atau yang biasa disebut dengan off – flavor. Penyimpangan cita rasa atau off – flavor sanggup berupa bacin lumpur (muddy), bacin rumput bahari (weedy) atau bacin apek (rancid).

Produk perikanan yang terkena off-flavor tidak sanggup dipasarkan atau hanya memperoleh penawaran harga yang rendah. Off – flavor pada udang windu (Penaeus monodon) sudah pernah dipublikasikan pada selesai tahun 1991.

Senyawa Kimia dan Penghasilnya

Masalah off – flavor sanggup timbul selama berlangsungnya budidaya udang dan terjadi lantaran akumulasi senyawa kimia tertentu di dalam daging udang. Secara umum sanggup diketahui bahwa terdapat 3 jenis senyawa kimia yang menjadi penyebab off – flavor, yakni : geosmin (C12H22O), methylisoborneol (MIB) (C11H20O) dan mucidone (C16H18O2). 

Di dalam satu ekosistem tambak, senyawa – senyawa tersebut sanggup ditemukan di dalam air, lumpur dan pada organism yang hidup di dalam tambak tersebut (ikan, udang, algae serta jamur). Senyawa tersebut berasal dan dihasilkan oleh mikroorganisme yang terdapat di dalam tambak, yaitu dari jenis Blue Green Algae (Cyanophyta) dan jamur Streptomyces sp. Spesies – spesies Blue Green Algae yang diketahui menghasilkan senyawa tersebut yaitu :
1. Anabaena scheremetievi
2. Lyngbya aestuari
3. Lyngbya cryptovaginata
4. Oscillatoria agardhi
5. Oscillatoria bornetii fatenuis
6. Oscillatoria cortiana
7. Oscillatoria prolific
8. Oscillatoria simplicissima
9. Oscillatoria tenuis
10. Oscillatoria variabilis
11. Oscillatoria curviceps
12. Oscillatoria tenuis varlevis
13. Oscillatoria splendida
14. Schizothrix muelleri
15. Symploca muscorum

Senyawa kimia tersebut sanggup dideteksi dengan memakai metode Gas-liquid Chromatography. Bisa diekstrak melalui proses penyulingan dan pemisahannya memakai methylen. Ikan maupun udang sanggup menyerap senyawa tersebut melalui insang dan menyebar ke seluruh badannya bersama pemikiran darah. Bisa juga lewat makanan yang dicerna dan terserap melalui susukan pencernaan.

Mikroorganisme penghasil senyawa tersebut tumbuh subur kalau di dalam tambak banyak terdapat materi organic. Selain itu juga didorong oleh kondisi air dan tanah yang alkaline. 

Studi Pendahuluan

Studi mengenai muddy smell pada tahap awal yang sudah dilakukan ditujukan untuk mencari data guna pertanda adanya hubungan timbulnya bacin lumpur pada daging udang dengan lumpur hitam di dasar tambak. Selain itu mencari alternative langkah – langkah pencegahan dan perbaikan yang sanggup dilakukan untuk mengatasi hal tersebut.

Penyebab Muddy Smell 

Dua rangkaian eksperimen sederhana yang dilakukan memakai lumpur dari dasar tambak yang sama, namun dicampur dengan air untuk mendapat kepekatan yang berbeda. Namun demikian pada eksperimen pertama memakai lumpur yang ditambah air dengan perbandingan 3 : 1, maka diperoleh adonan yang berbentuk bubur. Sementara itu pada eksperimen kedua dipakai lumpur yang ditambah air dengan perbandingan 5 : 1, maka diperoleh larutan lumpur yang encer.

Eksperimen yang pertama adonan lumpur dan air sengaja dibentuk pekat, supaya secara ekstrim sanggup terlihat kalau muddy smell memang sanggup disebabkan oleh lumpur tambak.

Udang yang ditaruh dalam lumpur selama 3 jam diamati dan selanjutnya apakah masih hidup dan segera dilakukan uji rasa baik dalam keadaan mentah (sebelum dimasak) maupun matang (setelah dimasak). Uji rasa tersebut dilakukan menurut metode dari Lovell & Sackey (1973) serta metode dari Van der Ploeg & Johnson (1994).

Dari 50 ekor udang yang diletakkan di dalam bubur lumpur tidak satupun yang sanggup bertahan hidup sehabis 3 jam. Sebanyak 10 ekor udang yang diambil secara acak sehabis dicuci higienis segera dilakukan uji organoleptik. Setiap ekor udang dicium baunya satu per satu guna mendeteksi adanya penyimpangan dari bacin yang normal. Akan tetapi risikonya memperlihatkan bahwa kesepuluh ekor udang tersebut sudah terdeteksi penyimpangan bacin atau off – flavor  yang umumnya jelas. Padahal waktu awalnya udang yang berasal dari satu tambak tersebut sudah dilakukan uji organoleptik, dengan menentukan 10 ekor udang secara acak, dan tidak ada satupun yang yang memiliki dilema dengan penyimpangan bau. Tidak adanya penyimpangan bacin juga diperkuat oleh hasil uji organoleptik terhadap 10 ekor udang yang diletakkan selama 3 jam dalam air yang higienis dan dianggap sebagai control.

Berdasarkan eksperimen pertama, maka pada eksperimen kedua disiapkan adonan lumpur dan air yang lebih encer. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapat kondisi timbulnya penyimpangan bacin pada ketika udang masih bertahan hidup. Namun sehabis 3 jam di dalam larutan lumpur encer yang tidak mendapat perlakuan probiotik takaran tinggi, kesepuluh ekor udang di dalamnya tetap mati. Berdasarkan uji organoleptik tetap terdeteksi adanya penyimpangan bau, walaupun dengan kadar yang ringan.

Penanggulangan dan Pencegahannya

Usaha untuk menghilangkan penyimpangan bacin dari daging udang yang sudah mati, sanggup dilakukan dengan memakai perendaman di dalam larutan H2O2 dengan konsentrasi 50, 100 dan 200 ppm selama 1 jam menyerupai yang dilakukan pada eksperimen pertama. Akan tetapi perjuangan penanggulangan ini tidak secara terang sanggup membuahkan hasil. Perlakuan dengan konsentrasi yang lebih tinggi atau waktu yang lebih usang di dalam larutan H2O2 akan mengakibatkan rusaknya penampilan fisik udang.

Penambahan probiotik sebanyak 500 ppm dan membiarkannya selam 3 hari pada eksperimen kedua, ternyata memperlihatkan menurunnya maut dan berkurangnya penyimpangan bau, kalau dibandingkan dengan yang tanpa probiotik.

Hasil terbaik diberikan sehabis perlakuan dengan basil super PS, terbukti kesepuluh ekor udangnya tetap hidup dan rata-rata nilai uji rasanya sanggup diterima sebagai normal. Namun prosedur apa yang berlaku dan senyawa kimia apa yang berkurang lantaran perlakuan probiotik belum sanggup dilihat pada eksperimen ini. Karena masih diharapkan pengujian lebih lanjut dan lebih rinci, dengan mengusut lebih banyak parameter dengan peralatan yang lebih banyak pula.

Usaha pencegahan dengan memakai probiotik konsentrasi tinggi (500 ppm) pada eksperimen kedua, memperlihatkan citra awal bahwa hal tersebut sanggup memperlihatkan manfaat yang cukup signifikan. Selanjutnya, diharapkan eksperimen yang lebih rinci untuk melihat konsentrasi, frekuensi, dan cara aplikasi yang optimal pada kondisi tambak yang sebenarnya. Untuk ketika ini langkah pencegahan dengan melaksanakan praktek sipon 3 hari berturut-turut sebelum panen, untuk membersihkan lumpur didasar tambak semaksimal mungkin yaitu langkah yang tepat.