Perkembangan Pers Pada Masa Orde Lama - Pers di masa demokrasi liberal (1949-1959) mempunyai landasan kemerdekaan pers konstitusi RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yaitu setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Isi pasal ini kemudian dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Awal pembatasan pers yaitu pengaruh samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers abnormal saja tetapi terhadap pers nasional.
Pers di masa demokrasi terpimpin (1956-1966) ditandai dengan tindakan tekanan terhadap pers yang terus berlangsung yaitu pembreidelan terhadap harian Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia dan Sin Po di Jakarta.
Upaya untuk pembatasan kebebasan pers tecermin dari pidato Menteri Muda Penerangan RI yaitu Maladi yang menyatakan hak kebebasan individu diubahsuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melakukan kedaulatan rakyat.
Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya yaitu keamanan negara, kepentingan bangsa, budpekerti dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan YME.
Pers tunduk sepenuhnya pada peraturan pemerintah, pers dimanfaatkan sebagai alat revolusi dan pelopor massa. Hal yang menonjol adalah,
Era demokrasi terpimpin diawali Dekrit Presiden tahun 1959-1966. Keberadaan pers diatur dalam Tap MPRS No. 11 tahun 1960 perihal Penerangan Massa dan melalui Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 10/ 1960. Dalam kedua hukum tersebut diatur antara lain:
Pada masa demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno, pers sangat dibatasi ruang geraknya, kebebasan pers tidak ada. Dalam ulang tahun PWI ke-19, Presiden Soekarno menegaskan “dalam suatu revolusi, tidak boleh ada kebebasan pers. Koran yang beritanya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintahan ditutup".
Banyak institusi pers yang menentukan tutup, menyerupai Harian Abadi yang antikomunis. Jumlah surat kabar hanya sekitar 60 buah. Jurnalis yang melawan ditahan menyerupai Mochtar Lbis, redaktur Indonesia Raya tahun 1956-1961. Kantor info Antara, Organisasi PWI dan SPS “dikuasai” komunis.
Aktivis pers menyerupai BM. Diah, Adam Malik, Wonohito mencetuskan Manifesto Kebudayaan dan Badan Pendukung Soekarnoisme yang anti-PKI, yang kemudian ditutup oleh Soekarno.
Baca juga: Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru
Demikianlah artikel kali ini mengenai Perkembangan Pers Pada Masa Orde Lama. Semoga bermanfaat bagi Anda. Sekian dan terimakasih.
Sumber: Modul KEWARNEGARAAN SMK/MAK Kelas XII
Awal pembatasan pers yaitu pengaruh samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers abnormal saja tetapi terhadap pers nasional.
Pers di masa demokrasi terpimpin (1956-1966) ditandai dengan tindakan tekanan terhadap pers yang terus berlangsung yaitu pembreidelan terhadap harian Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia dan Sin Po di Jakarta.
Upaya untuk pembatasan kebebasan pers tecermin dari pidato Menteri Muda Penerangan RI yaitu Maladi yang menyatakan hak kebebasan individu diubahsuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melakukan kedaulatan rakyat.
Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya yaitu keamanan negara, kepentingan bangsa, budpekerti dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan YME.
Pers tunduk sepenuhnya pada peraturan pemerintah, pers dimanfaatkan sebagai alat revolusi dan pelopor massa. Hal yang menonjol adalah,
- Peraturan No.3 tahun 1960 perihal larangan terbit surat kabar berbahasa Cina.
- Peraturan No.19 tahun 1961 perihal keharusan adanya surat izin terbit bagi surat kabar
- Peraturan No.2 tahun 1961 perihal pelatihan pers oleh pemerintah yang tidak loyal akan dibreidel.
- UU No.4 tahun 1963 perihal wewenang jaksa agung mengenai pers.
Era demokrasi terpimpin diawali Dekrit Presiden tahun 1959-1966. Keberadaan pers diatur dalam Tap MPRS No. 11 tahun 1960 perihal Penerangan Massa dan melalui Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 10/ 1960. Dalam kedua hukum tersebut diatur antara lain:
- SIT (Surat Izin Terbit) berlaku,
- Pers berbahasa etnik menyerupai Cina dilarang,
- Isi info harus sesuai kepercayaan MANIPOL-USDEK.
Pada masa demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno, pers sangat dibatasi ruang geraknya, kebebasan pers tidak ada. Dalam ulang tahun PWI ke-19, Presiden Soekarno menegaskan “dalam suatu revolusi, tidak boleh ada kebebasan pers. Koran yang beritanya tidak sesuai dengan kebijakan pemerintahan ditutup".
Banyak institusi pers yang menentukan tutup, menyerupai Harian Abadi yang antikomunis. Jumlah surat kabar hanya sekitar 60 buah. Jurnalis yang melawan ditahan menyerupai Mochtar Lbis, redaktur Indonesia Raya tahun 1956-1961. Kantor info Antara, Organisasi PWI dan SPS “dikuasai” komunis.
Aktivis pers menyerupai BM. Diah, Adam Malik, Wonohito mencetuskan Manifesto Kebudayaan dan Badan Pendukung Soekarnoisme yang anti-PKI, yang kemudian ditutup oleh Soekarno.
Baca juga: Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru
Demikianlah artikel kali ini mengenai Perkembangan Pers Pada Masa Orde Lama. Semoga bermanfaat bagi Anda. Sekian dan terimakasih.
Sumber: Modul KEWARNEGARAAN SMK/MAK Kelas XII