Hukum Makan Bekicot Halal Atau Haram? Berikut Klarifikasi Mui

 Ini termasuk salah satu pertanyaan yang kerapkali di tanyakan di aneka macam lembaga Hukum Makan Bekicot Halal atau Haram? Berikut Penjelasan MUI
Bagaimana aturan makan bekicot? Ini termasuk salah satu pertanyaan yang kerapkali di tanyakan di aneka macam forum. Di beberapa daerah, bekicot menjadi makanan yang cukup digemari. Di restoran-restoran abnormal menyerupai restoran ala Eropa atau restoran ala Jepang bekicot disajikan dengan aneka macam bumbu, bahkan terkesan mewah. Ada juga yang disajikan sebagai sajian jajanan berupa kripik atau sate. Makan bekicot halal atau haram? Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam anutan No. 25 tahun 2012 menyatakan bahwa aturan makan bekicot yaitu haram berdasarkan pendapat jumhur ulama 
 
Di dalam al-Qur’an dan al-hadits terdapat hal-hal yang kehalalannya disebut secara terperinci dan rinci, contohnya binatang ternak dan ikan. Demikian pulababi, darah, dan bangkai. Namun ada pula yang keharamannya disebutkan secara umum saja bahwa yang termasuk al-khabâits (kotor/jijik) yaitu haram. Wilayah inilah yang kemudian menjadi ranah ijtihad yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat. Hukum memakan bekicot masuk dalam wilayah ijtihadiyah ini,  sehingga masuk akal jikalau terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Karena itu bahu-membahu perbedaan pendapat dalam duduk masalah ini yaitu hal yang biasa saja, merupakan konsekuensi ijtihad.

Fatwa MUI menyatakan bahwa bekicot haram, hal ini didasarkan atas pandangan bahwa bekicot termasuk jenis hasyarât, yakni hewan-hewan darat yang tidak lazim disembelih. Mengenai aturan hasyarât para ulama berbeda pendapat. Kebanyakan para ulama memandang hasyarât termasuk binatang kotor atau menjijikkan (alkhabâits) sehingga haram dikonsumsi menurut firman Allah Swt dalam surat al-A’raf [7] ayat 157:
Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk


Pandangan dalam madzhab Syafii menyatakan haram menyerupai yang disampaikan oleh Imam al-Syairazi: Tidak halal memakan binatang kecil-kecil di bumi (hasyarât) menyerupai ular, kalajengking, tikus, kumbang, kadal, jangkrik, laba-laba, tokek, kepik, cacing, kecoa, dan kutu sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam QS  al-A’raf [7] ayat 157. (Lihat: al-Muhadzdzab, Juz I/hal 451; al Majmu’, Juz IX/ hal 14) 

Pendapat yang hampir sama juga dari madzhab Hanafi sebagaimana disampaikan `Alâ’u al-Dîn al-Kâsânî, bahwa binatang darat yang tidak berdarah menyerupai belalang, kumbang, lalat, laba-laba, aneka macam jenis serangga, kadal, kalajengking dan sejenisnya tidak halal dimakan kecuali belalang saja, sebab menurut tabiatnya termasuk binatang yang menjijikkan (lihat: Badâi’u al-Shanâ’i’, Juz VI/hal 179-181). Demikian pula pendapat dalam madzhab Hanbali sebagaimana disampaikan oleh alBuhûti (Daqâiq Uli al-Nuhâ li Syarh al-Muntahâ, Juz VI halaman 313). Imam Ibn Hazm al-Dzahiri dengan mengambil sudut pandang berbeda, juga menyatakan bahwa binatang hasyarât haram dikonsumsi.

Penjelasannya: Tidak halal hukumnya memakan siput darat (bekicot), dan tidak halal pula memakan semua jenis hasyarat menyerupai tokek, kumbang, semut, lebah, lalat, ulat –baik yang sanggup terbang maupun tidak-, kutu, nyamuk dan semuanya saja dari segala jenis serangga, didasarkan atas firman Allah Swt: “diharamkan atas kalian bangkai” dan firman-Nya: “kecuali apa yang kalian sembelih”. Penyembelihan yang wajar/normal tidak lazim kecuali di penggalan tenggorokan atau dada, maka, jikalau binatang itu tidak sanggup disembelih maka tidak ada jalan untuk dibolehkan memakannya, sehingga yang menyerupai ini haram, kecuali binatang yang memang tidak perlu disembelih (lihat: AlMuhalla, hal 911).
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Imam Malik yang juga dijadikan pertimbangan dalam anutan MUI. 


Imam Malik ditanya wacana binatang yang ada di Maghrib yang dinamakan “halzun”, yang hidup di darat, melekat di pohon; apakah ia boleh dimakan? Beliau menjawab: aku beropini hal tersebut menyerupai belalang. Jika diambil darinya dalam keadaan hidup kemudian dididihkan atau dipanggang, maka aku beropini tidak apa-apa untuk dimakan. Namun jikalau diperoleh dalam keadaan mati maka tidak dimakan (alMudawwanah al-Kubrâ, Juz I/hal. 542) al-Rajrâji juga telah mengutip pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa hewan-hewan darat yang tidak memiliki darah yang mengalir menyerupai jenis belalang, kalajengking, kumbang, tabuhan, capung, semut, ngengat, ulat, nyamuk, dan aneka macam jenis hasyarât boleh dimakan jikalau memang diharapkan untuk obat maupun untuk yang lainnya (lihat: Manâhij al-Tahshîl, Juz III/hal 204).  

Terkait dengan pendapat-pendapat tersebut, Imam al-Nawawi memberi ringkasan: 

Pendapat para ulama madzhab berkaitan dengan binatang hasyarât menyerupai ular, kalajengking, kepik, kecoa, tikus dan sejenisnya, madzhab kami yakni madzhab Syafi’iyah mengharamkannya, demikian pula Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Abu Daud al-Dhahiri. Sementara itu, Imam Malik beropini halal didasarkan atas firman Allah QS al-An’am ayat 145 (Al-Majmu’, Juz IX/hal. 16-17).145 (Al-Majmu’, Juz IX/hal. 16-17).
 

Kendatipun bekicot haram dimakan, MUI mengeluarkan anutan No. 24 tahun 2012 yang menyatakan bahwa memanfaatkan bekicot untuk keperluan nonpangan menyerupai untuk kosmetika luar dan untuk obat, hukumnya boleh. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa kendati bekicot diharamkan sebab dimasukkan dalam kelompok binatang yang menjijikkan, namun bekicot dihukumi suci, sehingga bila dipakai untuk pemakaian luar tidak ada masalah. Hal ini sejalan dengan prinsip umum yang menjadi landasan dalam anutan ini bahwa Allah Swt membuat segala yang ada bahu-membahu untuk manusia, selama tidak ada dalil yang secara eksplisit melarangnya.

Demikian klarifikasi mengenai aturan makan bekicot dalam islam yang disampaikan oleh Ustadz Ainul Yaqin, S.Si. M.Si. Apt. (Sekretaris Umum MUI Prov. Jatim dan Konsultan pada LPPOM MUI Jatim) pada rubrik Halal Haram Majalah Al Falah. Semoga bermanfaat

Related Post