Selamat tiba di blog saya, pada kesempatan ini saya berbagi Kisah Abu Nawas sebagai penghilang stress berat gempa kemarin yang berjudul Kisah Abu Nawas akan Dihukum Pancung.
Cita-cita atau obsesi menghukum Abu Nawas bekerjsama masih bergolak, namun Baginda merasa kehabisan nalar untuk menjebak Abu Nawas. Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan supaya Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang cerdik tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri. Dan ulama dengan ulama.
Baginda mendapatkan usul yang cemerlang itu dengan hati bulat. Setelah ulama yang cerdik tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu cara-cara yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas perihal takdir final hidup Baginda Raja sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat. Tiada seorang pun insan yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi perihal final hidup orang lain.
Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk menawarkan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke pangkuan siasat sang ulama. Abu Nawas melaksanakan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau daerah pemancungan. Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai bajing melompat niscaya suatu dikala akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dieksekusi mati sebab jebakan sang ilmuwan-ulama. Benarkah Abu Nawas sudah keok? Kita lihat saja nanti.
Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas tak.akan bisa menghentikan sanksi mati yang akan dijatuhkan. Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kemenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang sekarang. Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya satu orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas akan berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas.
Bukankah Alla Azza Wa Jalla lebih erat daripada urat leher. Tidak ada yang mustahil bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan final hidup ialah mutlak urusanNya. Semakin erat sanksi mati bagi Abu Nawas; orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin erat sanksi bagi dirinya, semakin hening hatinya. Malah Abu Nawas nampak setenang air danau di pagi hari. Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan belahan dari tipu dayanya Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa dia tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.
Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih menempel maka cita-cita akan terus menyertainya. Tuhan mustahil membuat alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gentingnya. Keyakinan menyerupai inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Baginda Raja memberi sambutan singkat perihal akan dilaksanakan sanksi mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan ajakan terakhir Abu Nawas.
Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti-nantikan Abu Nawas. "Adakah ajakan yang terakhir"
"Ada Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas singkat.
"Sebutkan." kata Baginda.
"Sudilah kiranya hamba diperkenankan menentukan sanksi mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia." pinta Abu Nawas.
"Baiklah." kata Baginda menyetujui ajakan Abu Nawas...
"Paduka yang mulia, yang hamba pinta ialah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dieksekusi pancung, tetapi jikalau pilihan hamba dianggap salah maka hamba dieksekusi gantung saja." kata Abu Nawas memohon.
"Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana." kata Baginda sambil tertawa.
"Hamba tidak bersenda gurau Raduka yang mulia." kata Abu Nawas bersungguh-sungguh. Baginda main terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan nyaring.
"Hamba minta dieksekusi pancung!" Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai mendariak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas. Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya sebab disaksikan oleh ribuan rakyatnya. Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan sanksi mati yang paling cocok untuk dirinya.
Kini kesempatan Abu Nawas membela diri. "Baginda yang mulia, hamba tadi menyampaikan bahwa hamba akan dieksekusi pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dieksekusi gantung. Tetapi di manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba harus dieksekusi gantung. Padahal hamba telah menentukan sanksi pancung?" Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benar-benar luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi insan pandai selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini.
"Abu Nawas saya mengampunimu, tapi kini jawablah pertanyaanku ini. Berapa banyakkah bintang di langit?"
"Oh, praktis sekali Tuanku."
"lya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?" tanya Baginda.
"Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai."
"Kau ini... bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?"
"Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?"
"Hahahahaha...! Kau memang penggeli hati. Kau ialah pelipur laraku. Abu Nawas mulai kini jangan segan-segan, sering-seringlah tiba ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-leluconmu yang baru!"
"Siap Baginda...!" Lalu Baginda memerintahkan bendahara kerajaan menawarkan sekantong uang kepada insan terlucu di negerinya itu.
Demikian, semoga terhibur.
Cita-cita atau obsesi menghukum Abu Nawas bekerjsama masih bergolak, namun Baginda merasa kehabisan nalar untuk menjebak Abu Nawas. Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan supaya Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang cerdik tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri. Dan ulama dengan ulama.
Baginda mendapatkan usul yang cemerlang itu dengan hati bulat. Setelah ulama yang cerdik tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu cara-cara yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas perihal takdir final hidup Baginda Raja sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat. Tiada seorang pun insan yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi perihal final hidup orang lain.
Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk menawarkan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke pangkuan siasat sang ulama. Abu Nawas melaksanakan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau daerah pemancungan. Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai bajing melompat niscaya suatu dikala akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dieksekusi mati sebab jebakan sang ilmuwan-ulama. Benarkah Abu Nawas sudah keok? Kita lihat saja nanti.
Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas tak.akan bisa menghentikan sanksi mati yang akan dijatuhkan. Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kemenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang sekarang. Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya satu orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas akan berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas.
Bukankah Alla Azza Wa Jalla lebih erat daripada urat leher. Tidak ada yang mustahil bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan final hidup ialah mutlak urusanNya. Semakin erat sanksi mati bagi Abu Nawas; orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin erat sanksi bagi dirinya, semakin hening hatinya. Malah Abu Nawas nampak setenang air danau di pagi hari. Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan belahan dari tipu dayanya Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa dia tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.
Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih menempel maka cita-cita akan terus menyertainya. Tuhan mustahil membuat alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gentingnya. Keyakinan menyerupai inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Baginda Raja memberi sambutan singkat perihal akan dilaksanakan sanksi mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan ajakan terakhir Abu Nawas.
Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti-nantikan Abu Nawas. "Adakah ajakan yang terakhir"
"Ada Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas singkat.
"Sebutkan." kata Baginda.
"Sudilah kiranya hamba diperkenankan menentukan sanksi mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia." pinta Abu Nawas.
"Baiklah." kata Baginda menyetujui ajakan Abu Nawas...
"Paduka yang mulia, yang hamba pinta ialah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dieksekusi pancung, tetapi jikalau pilihan hamba dianggap salah maka hamba dieksekusi gantung saja." kata Abu Nawas memohon.
"Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana." kata Baginda sambil tertawa.
"Hamba tidak bersenda gurau Raduka yang mulia." kata Abu Nawas bersungguh-sungguh. Baginda main terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan nyaring.
"Hamba minta dieksekusi pancung!" Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai mendariak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas. Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya sebab disaksikan oleh ribuan rakyatnya. Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan sanksi mati yang paling cocok untuk dirinya.
Kini kesempatan Abu Nawas membela diri. "Baginda yang mulia, hamba tadi menyampaikan bahwa hamba akan dieksekusi pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dieksekusi gantung. Tetapi di manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba harus dieksekusi gantung. Padahal hamba telah menentukan sanksi pancung?" Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benar-benar luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi insan pandai selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini.
"Abu Nawas saya mengampunimu, tapi kini jawablah pertanyaanku ini. Berapa banyakkah bintang di langit?"
"Oh, praktis sekali Tuanku."
"lya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?" tanya Baginda.
"Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai."
"Kau ini... bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?"
"Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?"
"Hahahahaha...! Kau memang penggeli hati. Kau ialah pelipur laraku. Abu Nawas mulai kini jangan segan-segan, sering-seringlah tiba ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-leluconmu yang baru!"
"Siap Baginda...!" Lalu Baginda memerintahkan bendahara kerajaan menawarkan sekantong uang kepada insan terlucu di negerinya itu.
Demikian, semoga terhibur.